#AkuBanggaAkuSastra




Aku didera dilema, saat aku harus menentukan ke arah mana aku mulai merajut impianku. Tak jarang, akal dan suara hatiku berdebat. Berdebat tentang mana yang harus aku pilih—suara hatikah, atau pendapat tentang 'prospek ke depannya'-kah?

Di sisi lain, aku ingin sekali mendengarkan apa kata hatiku. Tapi, stigma masyarakat terus mengintervensi pilihanku.

Beberapa jurusan dipandang istimewa, sebagian yang lain dipandang sebelah mata.

Ketika aku mendengarkan pilihan hatiku, aku dihantui dengan berbagai pendapat yang memandang bahwa apa yang aku pilih tidak akan menghasilkan apa-apa di masa depan nanti. Tidak jarang pula yang membanding-bandingkannya dengan jurusan lain.

Aku sangat yakin semua pihak peduli padaku. Tapi menurutku, bukan jurusanlah yang menentukan masa depanku. Bukan universitaslah yang menentukan masa depanku. Tapi diri sendiri.

Ketika aku memilih farmasi, tetapi yang aku bisa adalah meracik kata-kata—bukan meracik bahan kimia, institusi mana yang mau memilihku?

Ketika aku memilih kedokteran, tetapi bakatku adalah memilah diksi—bukan anatomi, institusi mana yang mau memilihku?

Begitu pula ketika memilih akuntansi, tetapi kesukaanku adalah memindah-mindahkan kalimat—bukan angka, institusi mana yang mau merekrutku?

Teman-teman seperjuangan, seorang bijak pernah berkata, "Terkadang manusia beranggapan bahwa ia hanyalah seonggok daging belaka, tetapi pada dasarnya setiap manusia terdapat kehebatan yang tak terbatas".

Maka, di mana pun kamu berada, dan apapun jurusan yang kamu pilih, sesungguhnya masa depanmu ditentukan oleh dirimu sendiri.

Percayalah bahwa tidak ada jurusan dengan prospek yang paling menjamin. Percayalah, bahwa yang menjamin hal itu adalah dirimu sendiri.



(Tulisan ini adalah buah pikir bersama yang sudah di sunting)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meromantisasi Kesedihan

Kenapa Kau Mencintainya?

Untukmu yang Memutus Hubungan dan Komunikasi