Meromantisasi Kesedihan




Padahal, sudah hampir 5 tahun dia menjalani kehidupan yang seperti itu.

Tapi ada saja perasaan yang masih janggal dan tidak karuan, entah perasaan apa itu.

Namun sepertinya dia tahu mengapa dia begitu.

Bayangkan saja, dia anak perempuan yang selalu merengekan sesuatu kepada sang ibu namun secara tiba-tiba tidak lagi bisa melakukan hal itu.

Apapun itu.

Contohnya pada saat seperti bulan Ramadan ini, 7 tahun yang lalu tepatnya.

Dia selalu dengan bangga dan meriah menyambut kedatangan bulan suci Ramadan bersama keluarga kecilnya yang hangat.

Beramai-ramai datang ke tempat ibadah untuk melakukan ibadah bersama.

Berada dibarisan atau shaf yang sama dengan sang ibu meskipun kadang terjeda.

“Ayo bangun salat, kok malah duduk”, seru sang ibu.

Lalu dengan enteng si anak perempuannya itu menjawab, “sebentar, istirahat sekali.”, yang padahal tidak cukup sekali.

Tidak hanya itu, sering kali mereka berbondong-bondong membeli bahan masakan untuk dimakan dihari pertama sahur.

Dia meminta untuk dimasakkan ini, kakak laki-lakinya meminta dimasakkan itu, ibu dan bapak hanya menuruti apa kata anak-anaknya.

Dia sering kali dibangunkan sang ibu di jam-jam yang tidak masuk akal menurutnya.

Yang benar saja masih pukul 2 pagi dia sudah dibangunkan untuk sahur, padahal dia akan melahap makanannya pada pukul 3.

Sebangun dari tidurnya dengan kesadaran yang tidak sepenuhnya penuh itu, dia beranjak dari kasur menuju ruang keluarga, di mana sebuah televisi berbentuk tabung besar sudah menyala dengan suara yang cukup bisa didengar bahkan dari kamar atas sang kakak.

Dia terduduk di depan televisi yang sudah menunjukkan siaran sahur andalan setiap tahunnya yang selalu heboh dan membuat tertawa renyah, sembari mengucek-ucek matanya.

Di saat menunggu sang kakak ke luar dan turun dari kamarnya, dia terus memperhatikan siaran yang sedang terputar sembari menyeruput satu dari empat gelas teh panas manis yang ada di depannya yang dibuat oleh sang bapak.

Begitu semua sudah siap dan duduk bersama, mulailah mereka menyantap apa yang sudah disiapkan oleh sang ibu.

Terkadang hening, hanya ada suara alat makan yang beradu dengan piring juga suara tv yang cukup menggelegar.

Selesai menyantap hidangan utama, biasanya sesekali mereka memakan kudapan manis.

Setelah itu tentu saja saling bergantian ke luar masuk kamar mandi untuk menggosok giginya masing-masing. Padahal ada satu kamar mandi lainnya.

Kurang lebih seperti itu.

Namun nyatanya pada saat dia beranjak dewasa, dia baru mengerti dan menyadari kenapa dia dibangunkan pada pukul 2 pagi.

Nyatanya pada saat dia beranjak dewasa, dia baru menyadari betapa indahnya duduk di depan televisi sembari tertawa renyah, karena tidak pernah lagi melakukan hal itu.

Nyatanya pada saat dia beranjak dewasa, dia baru menyadari betapa nikmatnya melihat empat gelas berisi teh panas manis di depannya, karena tidak pernah lagi melihat ada empat gelas teh panas manis yang tersaji.

Bahkan saat ini, satu gelas teh panas manis dia buat sendiri hanya untuk dirinya.

Dan, oh, ternyata pada hari puasa ke delapan dia baru sempat membuat satu gelas teh panas manis untuk dirinya sendiri.

Nyatanya pada saat dia beranjak dewasa, dia baru menyadari betapa hangatnya makan dan duduk bersama dalam satu ruangan yang sama, karena sudah tidak pernah lagi merasakan hal itu.

Nyatanya pada saat dia beranjak dewasa, dia baru menyadari betapa manisnya hidup itu ketika masih bisa menikmati kudapan bersama. Yang tentu saja sudah tidak bisa lagi dia lakukan saat ini.

Nyatanya pada saat dia beranjak dewasa, dia baru menyadari betapa menyenangkannya bisa bergantian menunggu giliran untuk menggunakan kamar mandi hanya untuk menggosok gigi.

Nyatanya pada saat dia beranjak dewasa, dia mulai menyadari betapa sunyinya hidup ini tanpa sosok sang ibu.

Dia mulai menyadari betapa hampanya hidup ini tanpa hadirnya seorang ibu.

Dia juga mulai menyadari betapa kurangnya seluruh aspek kehidupan yang dijalani tanpa adanya sosok sang ibu.

Hidupnya tidak lagi menyenangkan karena tidak lagi bisa bersama sang ibu.

Nyatanya, dialah yang akan menjadi sosok seorang ibu kelak.

 

 

Jantung ibu pernah berhenti berdetak.

Aku rasanya mau runtuh.

Tapi, pada saat itu aku tidak pernah putus asa.

Aku yakin ibu masih ada.

Dan akan selalu ada.

Aku tidak sendiri.

Aku menamai semua tangan yang membantuku--para malaikat.

 

Namun nyatanya saat ini, jantung ibu benar-benar berhenti berdetak.

Aku sudah runtuh.

Aku sudah putus asa.

Tetapi masih tetap yakin ibu masih ada, dan akan selalu ada.

Aku sekarang sendiri.

So, what comes after nothingness?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenapa Kau Mencintainya?

Untukmu yang Memutus Hubungan dan Komunikasi